Skip to content

Belajar, proses tiada henti hingga maut menjemput

Tujuan pendidikan yang paling utama, menurut perspektif Islam, adalah untuk melahirkan manusia beradab. Manusia yang ilmunya bermanfaat untuk diri, orang lain, lingkungan dan agamanya. Dan, yang tidak kalah penting, pendidikan harus melahirkan manusia terdidik. Namun, bukan hanya terdidik secara kognitif. Lebih dari itu, manusia terdidik adalah manusia pembelajar. Orang-orang yang selalu memiliki antusiasme belajar sepanjang hayat. Hidupnya selalu dipenuhi dengan aktivitas belajar setiap waktu dan di setiap tempat. Juga, belajar dari setiap hal dan setiap orang yang ditemui.

Bisa jadi, saat selesai dari satu jenjang pendidikan, ia mungkin saja dianggap belum cukup menguasai ilmu di jenjang itu. Namun, dengan karakter pembelajar yang melekat pada dirinya, dia akan selalu bertumbuh dan berproses menjadi selangkah lebih baik karena tetap melanjutkan belajar secara mandiri.

Sebuah institusi pendidikan haruslah mampu menghasilkan output berupa orang-orang yang tidak malas berpikir. Artinya, mereka adalah orang yang giat mengembangkan ilmu yang telah didapatnya. Bukan hanya membiarkannya memenuhi otak tanpa diolah dan diberdayakan. Banyak kritik dialamatkan kepada dunia pendidikan yang tampaknya seringkali sekadar menjalankan rutinitas belajar-mengajar sebagai aktifitas formal-administratif yang menjemukan dan melelahkan. Sementara, fungsi substansialnya sebagai elemen penting pencetak manusia pemikir-pembelajar sepanjang hayat cenderung terkesampingkan.

Bukan hanya di dunia Islam penilaian semacam ini disampaikan. Di Barat pun, orang-orang yang konsern terhadap dunia pendidikan juga mengevaluasinya. Mereka yang peduli dengan masa depan umat manusia, ingin manusia dididik sebagai manusia. Bukan sebagai robot. Mereka ingin manusia dididik dan dipersiapkan untuk benar-benar sanggup menjalani kehidupan. Menjadi manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Hari ini, di satu sisi, melimpahnya informasi di internet adalah berkah. Patut disyukuri. Namun, juga perlu diwaspadai. Kerap terjadi, jika kita mendapat satu atau dua informasi mengenai sesuatu hal, seakan-akan kita sudah jadi pakarnya. Ini biasanya berawal dari cara berpikir yang cenderung menyederhanakan masalah dan malas untuk menggali lebih dalam. Sehingga, yang dimaui hanya yang praktis-praktis saja, tanpa dipikir mendalam. Praktik-praktik ini pula yang membuat kita stagnan karena tidak melestarikan budaya olah pikir. Yang mana, olah pikir ini adalah tradisi paling asasi yang harusnya dihasilkan oleh sebuah proses bernama pendidikan.

Dalam bukunya, The Death of Expertise, Tom Nichols—setelah memaparkan tentang betapa hari ini orang-orang banyak yang kurang menghormati ilmu, mudah merasa pintar dan menjadi ahli dengan hanya bermodalkan beberapa informasi ringan dan sepotong-sepotong—menulis, “This is the opposite of education, which sould aim to make people, no matter how smart or accomplished they are, learners for the rest of their lives.” Ringkasnya, tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan orang-orang yang bersedia belajar seumur hidup meski merasa diri sudah cerdas dan berprestasi sekalipun.

Mari kita simak penuturan Ibnu Jamaah dalam Tadzkiratus Sami’, “Seseorang itu dianggap sebagai alim—berilmu—selagi ia masih terus belajar. Apabila ia meninggalkan aktivitas belajar dan merasa bahwa dirinya sudah kaya ilmu dan cukup dengan ilmu yang dimilikinya, maka saat itu ia menjadi orang yang paling dungu.”

Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat.

Di tengah perbendaharaan ilmu Islam kita dikenalkan dengan kata-kata sakti, “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat.” Sejak bayi hingga maut menjemput.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: