Skip to content

(BAG.II&III Habis) Mengakikahi anak yang sudah meninggal

Mengaqiqahi anak yang meninggal dan sudah berumur lebih dari tujuh hari, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum aqiqahnya sebagai berikut :

Pendapat Pertama
adalah pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa aqiqah untuk anak yang sudah meninggal hukumnya wajib secara mutlak. (al-Muhalla, vol. 6, hlm. 234)

Pendapat Kedua, sunnah hukumnya melaksanakan aqiqah dalam keadaan tersebut.
Pendapat ini adalah salah satu dari dua versi pendapat madzhab Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Ar-Rafi’i,
sekaligus sependapat dengan madzhab Hambali (asy-Syarh al-Mumti’, vol. 7, hlm. 540)

Pendapat ketiga,
jika anak dalam keadaan sudah meninggal maka gugur hukum mengaqiqahinya. Pendapat ini merupakan versi lain dari pendapat madzhab Syafi’i yang juga merupakan pendapat madzhab Maliki. (al-Majmu’ : vol. 8, hlm. 432, al-Muntaqa : vol. 4, hlm. 200)

Dari perbedaan pendapat di atas, pendapat yang paling rajih (kuat) adalah pendapat kedua yang menyatakan bahwa disunnahkan mengaqiqahi anak meskipun sudah meninggal.

Alasan pertarjihanny adalah sebegai berikut:

Pertama,
Para fuqaha sepakat bahwa kelahiran anak menjadi sebab pelaksanaan aqiqah untuk anak. Maka dari sinilah, pelaksanaan aqiqah itu masih tetap ada meskipun keadaan anak sudah meninggal. Sehingga pendapat yang mengatakan gugurnya pelaksanaan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal adalah pendapat yang lemah karena alasan tersebut. (al-Mufashshol fi Ahkam al-‘Aqiqah, hlm. 147)

Dalam kaidah fiqih disebutkan :

زَوَالُ الأَحْكَامِ بِزَوَالِ أَسْبَابِهَا

“Tiadanya hukum disebabkan oleh tiadanya sebab-sebab pelaksanaan hukumnya” (Izzuddin bin Abdis Salam, Qowa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, vol. 2, hlm. 3)

Maka mafhum mukholafah dari kaedah di atas dapat disimpulkan bahwa selama sebab itu ada, maka akibat hukumnya –
yaitu pelaksanaan aqiqah :
tetap ada dan tidak gugur.

Kedua,
pendapat pertama yang mewajibkan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal, juga merupakan pendapat yang lemah. Hal ini dikarenakan kesimpulan hukum berdasarkan lafal perintah Nabi “amarahum” (beliau memerintahkan mereka) yang dari kata tersebut menunjukkan sesuatu yang wajib, sehingga hukum aqiqahnya menjadi wajib menurut ulama Zhahiriyah. (Ash-Shan’ani, Subul as-Salam, vol. 4, hlm. 97-98)

Pendapat kedua ini tidak tepat, dikarenakan ada redaksi hadits lain mengenai aqiqah yang mengindikasikan perintah di atas bukanlah wajib melainkan sunnah.
Redaksi lain tersebut mengaitkan pelaksanaan aqiqah dengan kesukaan (mahabbah) dari mukallaf (ayah anak). Seandainya aqiqah itu hukumnya wajib, niscaya tidak dikaitkan dengan kesukaan mukallaf, meliankan harus dilakukan baik dalam keadaan yang disukai mukallaf maupun tidak. (Imam An-Nawawi, al-Majmu’, vol. 8, hlm. 426)

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده ” قال سئل رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم عن العقيقة فقال لا أحب العقوق وكأنه كره الاسم فقالوا يا رسول الله إنما نسألك عن أحدنا يولد له قال من أحب منكم أن ينسك عن ولده فليفعل عن الغلام شاتان مكافأتان وعن الجارية شاة “

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, “Rasulullah -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- pernah ditanya mengenai Aqiqah, lalu beliau menjawab, “Saya tidak menyukai istilah “al-‘Uquq” , seakan-akan beliau membenci penamaan tersebut. Lalu para sahabat bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya yang kami tanyakan kepada anda adalah mengenai salah satu di antara kami yang anaknya lahir. Maka beliau bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin menyembelih aqiqah untuk kelahiran anaknya maka hendaklah ia melakukannya, dua kambing yang setara untuk anak laki-laki, dan satu kambing untuk anak perempuan.” (HR. Ahmad 2/182, Abu Dawud no. 2742, dan An-Nasa’i 7/626)

Berdasarkan dua alasan tersebut, maka pendapat yang paling kuat (rajih) adalah yang tetap mensunnahkan aqiqah untuk anak walaupun anaknya sudah meninggal.

Imam Nawawi berkata,”Kalau sekiranya anak yang dilahirkan meninggal setelah hari ketujuh dan setelah adanya kemampuan untuk menyelembelih aqiqah, maka di sini ada dua pendapat sebagaimana disebutkan oleh Imam Rafi’i; yang pertama dan ini yang paling sahih, yakni tetap mustahab (sunnah) untuk mengaqiqahi anak tersebut” (al-Majmu’, 8/432).

Wallahu ‘Alam bish Showab. [azzam -ed]

Artikel ini dari Tim Syar’i Pondok Pesantren Darusy Syahadah

links :
https://www.darusyahadah.com/hukum-mengaqiqahi-bayi-yang-sudah-meninggal/

(BAG.III) Mengakikahi anak yang sudah meninggal

Tulisan berikut merupakan artikel ke tiga yang kami kumpulkan dan kami sharing untuk pemirsa, sebagai bahan perbandingan bukan untuk mencari pembenaran tapi sebagai bahan pembelajaran untuk beramal lebih bijak dan cerdas berdasarkan dalil syar’i dan shohih. Bukan beramal dengan dzon atau prasangka apalagi beramal dengan mengutamakan akal semata, naudzubillah min dzaaliik, semoga kita dilindungi Allah dari perbuatan tercela tersebut.

Berikut tulisan dari :
Penulis Moh Juriyanto -5 Juli 2018

Jumhur atau kebanyakan ulama sepakat bahwa hukum akikah adalah sunah muakkad atau sangat dianjurkan dalam Islam. Akikah dianjurkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas karunia anak yang telah dilahirkan.

Namun terkadang anak yang telah dilahirkan tersebut berumur panjang sehingga orang tuanya masih memiliki banyak kesempatan untuk mengakikahi, tapi sebaliknya ada juga yang sudah meninggal pada usia dini sebelum orang tuanya mengakikahi anak tersebut. Untuk masalah terakhir ini, apakah masih boleh orang tua mengakikahi anak yang sudah meninggal?.

Imam Nawawi dalam kitabnya Almajmu mengatakan bahwa ada dua pendapat ulama mengenai hukum melaksanakan akikah untuk anak yang sudah meninggal dan belum dilakukan akikah untuknya. Pertama dan ini yang paling sahih, tetap disunahkan melaksanakan akikah untuk anak yang sudah meninggal. Kedua, akikah hukumnya gugur jika anak sudah meninggal sehingga tidak disunahkan melakukan akikah untuknya.

لو مات المولود بعداليوم السابع بعد التمكن من الذبح فوجهان حكاهما الرافعي، اصحهما يستحب ان يعق عنه، والثاني يسقط بالموت

“Jika anak yang telah dilahirkan meninggal setelah berusia tujuh hari dari kelahiran dan setelah adanya kemampuan untuk menyembelih akikah, maka di sini ada dua pendapat sebagaimana disampaikan Imam Rafi’i. Pertama dan ini yang paling sahih, disunahkan untuk mengakakihi anak tersebut. Kedua, akikah gugur dengan meninggalnya anak tersebut.”

Kebanyakan ulama fiqih sepakat bahwa kelahiran anak merupakan sebab pelaksanaan akikah, sehingga meskipun anak telah meninggal, maka hal itu tidak menggugurkan kesunahan melakukan akikah untuknya. Selain itu, ketika orang tua melakukan akikah untuk anaknya, maka anak tersebut bisa memberikan syafaat kepada orang tuanya nanti di akhirat.

Dalam hadis riwayat Imam Abu Daud dari Samurah bin Judub, dia berkata bahwa Nabi Saw. bersanda;

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى

“Setiap anak tergadai dengan akikahnya, pada hari ketujuhnya disembelihkan hewan untuknya, dan dicukur rambutnya dan kemudian diberi nama.”

Ibnul Qayyim Aljauziyah dalam kitabnya Zadul Ma’ad mengutip perkataan Imam Ahmad bahwa maksud “tergadai” dalam hadis di atas adalah anak tidak bisa memberikan syafaat kepada orang tuanya. Jika orang tua tidak melakukan akikah untuk anaknya, maka anak tersebut tidak bisa memberikan syafaat nanti di akhirat.

Dengan demikian, jika anak telah dilahirkan, maka orang tua disunahkan melakukan akikah untuknya, baik anak tersebut masih hidup atau sudah meninggal. Hal ini supaya anak tersebut bisa memberikan syafaat di hadapan Allah nanti di akhirat.

Kesimpulan dari Team Darul Aqiqah

Dari ketiga tulisan diatas, dengan berdasar dalil syar’i ,insya Allah. Meng akikah Anak yang sudah meninggal adalah sunnah.

Untuk derajad sunnah nya, kami kembalikan kepada para pembaca sekalian untuk mengambil dari salah satu dalil diatas.

Sebagai operator Aqiqah, kami Darul Aqiqah wajib memberikan pandangan syar’i sesuai dalil yg kami yakini. Untuk pemanfaatan dari dalil tersebut, sekali lagi kami kembalikan kepada pemahaman para pembaca dan para calon pelanggan kami.

Akhirul kalam.
Sebenarnya banyak tulisan yang sangat bagus untuk ditampilkan tapi kami mengenakan nya pada hitungan 3 yang ganjil, witir. Karena memang kumpulan tulisan ini kami niatkan sebagai bahan pembelajaran.
Tulisan yang berbeda dari sumber berbeda, bukan untuk bahan perdebatan apalagi perpecahan, tapi sebagai bekal , buah pikir yang menyatukan untuk menguatkan iman dan keimanan.

Kebenaran hanya Milik Allah semata.

Wallahu a’lam bishowab

rifumi
Si Bawang Merah

https://t.me/rifumi

1 thought on “(BAG.II&III Habis) Mengakikahi anak yang sudah meninggal”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: