Skip to content

Apakah Boleh Aqiqah Saat Sudah Dewasa ?

كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.”

Diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah, dari Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.

Termasuk juga hadis Ummu Kurzin, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memberikan akikah bagi anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan dengan satu kambing. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah. Demikian pula Tirmudzi meriwayatkan yang semisal dari Aisyah. Dan ini tidak hanya ditujukan kepada bapak, sehingga mencakup anak, ibu, atau yang lainnya, yang masih kerabat bayi tersebut.”

Bismillah.

Hadits-hadits diatas menjadi rujukan dalam setiap mukmin untuk mengamalkan walimah aqiqah. Karena keumuman hadits tersebut, sebagian dari kita , baik sebagai anak maupun sebagai orang tua, banyak yang belum faham apa yang harus kita lakukan jika belum sempat di akikahi karena keterbatasan biaya atau saat anak tersebut lahir kita belum faham ilmu tentang aqiqah. Lalu setelah dewasa dan bekerja, atau setelah sekian puluh tahun barulah para orang tua yang mempunyai kewajiban mengakikahi anak baru faham tentang hukum syar’i akikah, atau baru memiliki rezeki dan berniat untuk mengakikahi anak nya atau bahkan dirinya sendiri yang belum sempat di akikahkan.

Banyaknya pertanyaan seputar hal ini menjadi keseharian di kantor kami pada bagian informasi pusat penerimaan order. Hampir setiap hari pertanyaan ini mampir ke meja kami.
Hal ini menunjukan bahwa masyarakat mulai peduli akan pentingnya ilmu syar’i. Melihat dan mengamati perkembangan yang sangat positif ini. Kami berusaha memberi layanan masyakat lebih paripurna lagi. Mencoba untuk menjemput bola memberi informasi segala hal seputar Akikah, semoga menjadi edukasi positif dan ladang dakwah untuk kami di DARUL AQIQAH KATERING

Kepada Allah azza wa jalla kami berserah dan berharap balasan terbaik, semoga asa ini walau sekedar tulisan tambahan menjadi tulisan yang bermanfaat untuk kami, dan pembaca .

Tidak akan bosan kami ingatkan dan wasiatkan.
Syarat amal agar diterima Allah ada 2:
1/ Amal Yang Ikhlash
2/ Amal yang didasari dengan ilmu syar’i

Tulisan pertama kami kumpulkan dari tulisan Sheikh Abdul Aziz bin Baz.

Pertanyaan Bagaimana hukum Akikah setelah Dewasa :

Bismillah

Pertama, akikah hukumnya sunah muakkad (ditekankan) menurut pendapat yang lebih kuat. Dan yang mendapatkan perintah adalah bapak. Karena itu, tidak wajib bagi ibunya atau anak yang diakikahi untuk menunaikannya.
Jika Akikah belum ditunaikan, sunah akikah tidak gugur, meskipun si anak sudah balig. Apabila seorang bapak sudah mampu untuk melaksanakan akikah, maka dia dianjurkan untuk memberikan akikah bagi anaknya yang belum diakikahi tersebut.

Kedua, jika ada anak yang belum diakikahi bapaknya, apakah si anak dibolehkan untuk mengakikahi diri sendiri?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih kuat, dia dianjurkan untuk melakukan akikah.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian balig dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri.”

Imam Ahmad ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Itu adalah kewajiban orang tua, artinya tidak wajib mengakikahi diri sendiri. Karena yang lebih sesuai sunah adalah dibebankan kepada orang lain (bapak).

Sementara Imam Atha dan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia boleh mengakikahi diri sendiri, karena akikah itu dianjurkan baginya, dan dia tergadaikan dengan akikahnya. Karena itu, dia dianjurkan untuk membebaskan dirinya.”

Sementara menurut pendapat kami, (red:Syekh Abdul Aziz bin Baz) akikah disyariatkan untuk dilakukan bapak. Oleh karena itu, orang lain tidak perlu menggantikannya….” (Al-Mughni, 9:364).
Ibnul Qayim mengatakan, “Bab, hukum untuk orang yang belum diakikahi bapaknya, apakah dia boleh mengakikahi diri sendiri setelah balig?” Al-Khalal mengatakan, “Anjuran bagi orang yang belum diakikahi di waktu kecil, agar mengakikahi diri sendiri setelah dewasa.” Kemudian ia menyebutkan kumpulan tanya jawab dengan Imam Ahmad dari Ismail bin Sa’id Al-Syalinji, ia mengatakan, “Saya betranya kepada Ahmad tentang orang yang diberi tahu bapaknya bahwa dia belum diakikahi. Bolehkah mengakikahi diri sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Itu adalah kewajiban bapak.” Dalam kitab Al-Masail karya Al-Maimuni, ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika orang belum diakikahi, apakah boleh dia akikah untuk diri sendiri ketika dewasa?” Kemudian ia menyebutkan riwayat akikah untuk orang dewasa dan ia dhaifkan.
Saya melihat bahwasanya Imam Ahmad menganggap baik, jika belum diakikahi waktu kecil agar melakukan akikah setelah dewasa. Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada orang yang melaksanakannya, saya tidak membencinya.”
Abdul Malik pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Bolehkah dia berakikah ketika dewasa?” Ia menjawab, “Saya belum pernah mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” Abdul Malik bertanya lagi, “Dulu bapaknya tidak punya, kemudian setelah kaya, dia tidak ingin membiarkan anaknya sampai dia akikahi?” Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak tahu. Saya belum mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” kemudian Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” (Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88)
Setelah membawakan keterangan di atas, Syekh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, “Pendapat pertama yang lebih utama, yaitu dianjurkan untuk melakukan akikah untuk diri sendiri. Karena akikah sunah yang sangat ditekankan. Bilamana orang tua anak tidak melaksanakannya, disyariatkan untuk melaksanakan akikah tersebut jika telah mampu. Ini berdasarkan keumuman banyak hadis, diantaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.”

(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 26:266)

Tulisan kedua adalah dari Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan alu Salman

Untuk pertanyaan yang sama

BAGAIMANA HUKUM AQIQAH BAGI ORANG DEWASA

Pertanyaan
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan alu Salman ditanya : Hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya setelah diutus sebagai Nabi dikatakan oleh Nawawi[1] bahwa hadits tersebut munkar karena kesendirian Abdullah bin Muharrar. Bagaimana komentar syaikh tentang perkataan itu?

Jawaban
Perkataan Nawawi telah didahului sebelumnya oleh perkataan Ibnu Abi Hatim dalam ‘Ilal Hadits. Maka selayaknya seseorang untuk menyandarkan kepada sumber aslinya. Pernyataan bahwa hadits ini munkar adalah perkataan Ibnu Abi Hatim dalam ‘Ilal Hadits menukil dari Abu Zur’ah ar-Razi, bukan dari ayahnya. Syaikh kami telah menanggapi perkataan ini dalam Silsilah as-Shahihah 6/502-506 no. 2726 dan beliau menshahihkan hadits ini. Oleh karena itu, saya kemarin mengatakan tentang hadits ini : “Dishahihkan oleh sebagian ahli hadits”. Itulah yang saya katakan dan saya tahu persis perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keabsahan dan kelemahannya sekalipun hati saya lebih cenderung untuk mengatakan bahwa hadits ini hasan. Untuk lebih detailnya dapat diperiksa Silsilah as-Shahihah juz 6 hal. 502-506.

Pertanyaan.
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan alu Salman ditanya : Bolehkah bagi seseorang yang belum mengaqiqahi dirinya untuk melakukannya tatkala sudah dewasa dan bagaimana pendapat syaikh terhadap orang yang membid’ahkannya?

Jawaban
Kita tidak mengatakannya bid’ah. Sebagian ahli ilmu telah mengamalkannya [2]. Aqiqah bagi orang dewasa boleh berdasarkan hadits diatas. Dan kapan saja terjadi perbedaan pendapat diantara ahli hadits lebih-lebih dalam masalah-masalah rumit seperti ini, hendaknya penuntut ilmu untuk menghargai perselisihan pendapat. Sehingga dia dapat memahami kapan dia mengingkari dan kapan dia membahas. Merupakan musibah sekarang ini –terutama pemuda dakwah salafiyah- mereka tidak mendalami ilmu syar’i, tetapi ingin menghukumi masalah-masalah rumit seperti ini yang belum ada keterangan yang jelas dari para ulama salaf. Jadi, perdalamlah ilmu syar’i terlebih dahulu dan jangan sibukkan dengan masalah-masalah rumit seperti ini.

(Disarikan dari soal jawab bersama beliau pada acara daurah di Lawang Jawa Timur 24-28 Rabiuts Tsani 1424H dengan beberapa tambahan seperlunya)

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 12, Tahun ke-II/Th 2003M. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

_______
Footnote
[1]. Teks perkataan Nawawi dalam al-Majmu (8/431-432) tentang hadits ini adalah : “Hadits ini bathil”, dan dinukil juga oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis (4/1498). Barangkali yang benar adalah Imam Baihaqi karena beliu mengatakan tentang hadits ini,”Munkar” sebagaimana dalam at-Talkhis juga.
[2]. Diantaranya adalah Imam Muhammad bin Sirin sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (8/235-236), Hasan al-Bashri sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (8/322). Inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Hazm dan syaikh al-Albani dalam as-Shahihah (no. 2726), bahkan pendapat ini juga dikuatkan oleh Lajnah Daimah yang diketahui oleh samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam fatwanya (11/438,439) dan pada hal. 447 dinyatakan bahwa ini adalah pendapat Hanabilah dan sejumlah para fukaha. Lantas bagaimana dikatakan bid’ah, fahamilah.

 

AQIQAH SETELAH DEWASA

Pertanyaan
Bagaimana hukum aqiqah terhadap anak yang kedua orang tuanya sudah meninggal dan dia telah dewasa?

Jawaban
Dalam masalah ini, Ulama berselisih menjadi dua pendapat.

1. Orang yang tidak diaqiqahi sewaktu kecil, dianjurkan untuk mengaqiqahi dirinya di waktu dewasa. Ini merupakan pendapat ‘Atha rahimahullah, Hasan al-Bashri rahimahullah, dan Muhammad bin Sirin rahimahullah, al-Hafizh al-Iraqi rahimahullah menyebutkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat orang itu diberi pilihan untuk mengaqiqahi dirinya. al-Qaffal asy-Syasyi dari kalangan Syafi’iyyah menganggap baik orang itu mengaqiqahi dirinya diwaktu dewasa. Ini juga satu riwayat dari Imam Ahmad, asy-Syaukani rahimahullah mengakui pendapat ini dengan syarat hadits yang dibawakan dalam bab ini shahih.

2. Orang yang tidak diaqiqahi sewaktu kecil tidak (perlu) mengaqiqahi dirinya. ini merupakan pendapat Malikiyyah. Mereka berkata, “Sesungguhnya aqiqah untuk orang dewasa tidak dikenal di Madinah. Ini juga satu riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah, akan tetapi penisbatannya dilemahkan oleh Imam Nawawi rahimahullah, al-Hafizh Ibnu Hajar, dan lainnya. Yang benar dari Imam Syafi’i rahimahullah adalah memberikan pilihan sebagaimana disebutkan pada pendapat pertama. (Lihat al-Mughni 9/461, al-Majmu’ 8/431, Fathul Bari 12/12-13, Tharhut Tats-rib 5/209 dll)

Yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama, berdasarkan hadits berikut ini.

عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدِ مَا بُعِثَ نَبِيًا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.

Hadits ini diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dengan dua jalur riwayat, yang satu sangat dha’if (sangat lemah), dan yang lain hasan sehingga hadits ini bisa dijadikan hujjah (pegangan). Oleh karena itu, banyak ulama Salaf yang berpendapat dengan kandungan hadits ini.

Namun sebagian Ulama & ustadz yang mulia mendhai’ifkan hadits ini. Hal ini tampaknya, karena mereka baru mendapatkan satu jalur periwayatan hadits yang memang dha’if tersebut. Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan kedudukan hadits ini dengan panjang lebar dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 2726. Inilah ringkasan dari penjelasan Syaikh al-Albani rahimahullah.

Hadits ini diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dengan dua jalur.

1. Dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik.
Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dalam al-Mushannaf 4/329/7960, Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa 2/33, al-Bazzar dalam Musnadnya 2/74/1237 Kasyful Astar ; dan Ibnu Adi dalam al-Kamil lembaran ke 209/1. Jalur ini juga disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam biografi Abdullah bin Muharrar di dalam kitab al-Mizan. Dalam at-Talkhis (4/147) al-Hafizh ibnu Hajar menisbatkan riwayat ini kepada al-Baihaqi.

Jalur ini sangat dha’if karena perawi yang bernama Abdullah bin Muhrarrar adalah sangat dha’if.

2. Dari al-Haitsam bin Jamil ; dia berkata, Abdullah bin al-Mutsanna bin Anas menuturkan kepada kami, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik.
Jalan periwayatan ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar 1/461, ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath 1/55/2, no. 976 dengan penomoran syaikh al-Albani ; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla 8/321, adh-Dhiya al-Maqdisi dalam al-Mukhtarah lembaran 71/1. Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Ini sanadnya hasan. Para perawinya dijadikan hujjah oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahiihnya, selain al-Haitsam bin Jamil, dan dia ini tsiqah (terpercaya) hafizh (ahli hadits), termasuk guru Imam Ahmad”.

Kesimpulannya : Orang yang tidak diaqiqahi sewaktu kecil disunatkan untuk mengaqiqahi dirinya di waktu dewasa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IV/1432H/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
https://almanhaj,or,id/1287-aqiqah-setelah-dewasa,html


Darul Aqiqah Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: