Skip to content

Haruskah Mengganti Shoum Ramadhan Tahun lalu atau meng Qodho Puasa Ramadhan

Shiyam, kewajiban setiap muslim dan muslimah

Al-Qur‘an  sangat detail dalam menghadirkan kata-kata dan ibarat-ibarat yang tersusun di dalamnya. Perbedaan bentuk kata meskipun berasal dari rumpun yang sama, dapat mengandung makna yang juga berbeda. Sepintas memiliki makna yang sama, namun ternyata tersirat makna yang beragam di dalamnya, termasuk diantaranya adalah tentang perintah puasa.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa (shiyam) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

Namun, dalam Al-Qur‘an istilah puasa tidak hanya diungkapkan melalui lafaz “shiyam” saja, tetapi juga “shaum” yang kedua lafaz tersebut sama-sama menunjukkan makna puasa dalam arti menahan (al-imsak).  


Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Dr Muchlis M Hanafi menjelaskan, perintah berpuasa dalam Ramadan memang menggunakan kata shiyam bukannya menggunakan kata shaum.

Rukun islam adalah pokok yang ada dalam ajaran Islam yang di dalamnya terdapat perintah-perintah utama. Pengertian yang wajib kita ketahui, kita pahami, sebagai tuntunan untuk kita beramal. Begitu penting hingga Puasa dibulan Ramadhan atau shiyam ada diurutan ke tiga setelah Sholat. Shoum dibulan Ramadhan hukumnya adalah wajib, Bagi setiap Muslim dan muslimah, berakal & sudah baligh/dewasa.

Ketentuan perintah wajib untuk berpuasa diterangkan dalam Alquran, yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Q. S. Al-Baqarah: 183).

Orang yang diberi keringan untuk Mengqodho’ Puasanya atau Membayar Fidyah

Shiyam atau Puasa Di Bulan Ramadhan adalah kewajiban yang sangat mengikat. Di waktu yang bersamaan dengan Sifat Arrahman dan Arrahiim NYA, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan keringanan kepada hambanya yang tidak memenuhi syarat atau dalam kondisi tertentu dan tidak mampu atau tidak memungkinkan untuk melaksanakan perintah shiyam tersebut, tidaklah menjadi keharusan/kewajiban seperti anak kecil yang belum baligh, orang yang tidak berakal sehat, tidak sanggup untuk berpuasa, dan tidak mengetahui waktu puasa.

Beda perlakuan untuk orang dewasa yang berakal, tapi berada dalam situasi dan kondisi tertentu yang tidak mungkin untuk melaksanakan kewajiban berpuasa, seperti :

  1. Seseorang yang mengalami sakit parah dan diperkirakan tidak dapat sembuh lagi wajib membayar fidyah.
  2. Golongan orang tua lanjut usia (lansia) yang sudah renta dan sakit tidak perlu meng-qadha puasa, melainkan wajib membayar fidyah.
  3. Ibu hamil dan menyusui dibolehkan wanita yang mendapati haidh dan nifas tidak qadha puasa dan mengganti puasa Ramadan yang bolong dengan membayar fidyah
  4. Lalu bagi para musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa.

Dalil-dalil

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil wanita haidh dan nifas adalah hadits dari ‘Aisyah, beliau mengatakan,

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”

Bagaimana Membayar Hutang Puasa?

Bagi orang yang tidak bisa melakukan ibadah puasa ramadhan, maka dia wajib mengganti atau  membayar batal puasa Ramadan itu, dengan melakukan ibadah puasa pada hari lain di luar bulan Ramadan.

Untuk mengganti puasa ramadhan tadi, kita sebut dengan istilah qadha, yaitu mengganti atau membayar puasa karena udzur syar’i atau halangan yang dibenarkan syariat dan dilakukannya di luar waktu puasa ramadhan.

Puasa pengganti (qadha) boleh dilakukan pada hari apa saja, baik dilakukan secara selang-seling atau acak, maupun berurutan harinya.

 “Qadha (puasa) Ramadan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan.” (HR. Daruquthni dari Ibnu’ Umar)

Dan batas waktunya sangat panjang. Yaitu satu tahun penuh, sampai bertemu lagi dengan bulan ramadhan berikutnya. Dari Abu Salamah, ia mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari. No: 1950; Muslim. No: 1146)

Sebagaimana wanita pada umumnya, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Ramadhan memiliki udzur, sehingga tidak berpuasa entah karena haidh ,hamil yang jika memaksakan untuk berpuasa akan membahayakan janin dan ibunya, atau menyusui.Ia menunda pembayaran hutang puasanya (qadha puasanya) hingga bulan Sya’ban.

Yang jelas Ibunda kaum Muslim  ‘Aisyah menunaikan qadha’nya sebelum Ramadhan berikutnya tiba. Karena kesempatan yang tersisa hanya di bulan Sya’ban, ‘Aisyah pun segera membayar utang puasanya.

Melaksanakan Puasa Qadha sebagai Cara Membayar Hutang Puasa

Qadha Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61)

Qadha puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada udzur yang dibenarkan syariat sebagaimana halnya ibadah puasa Ramadhan.

Tidak wajib membayar qadha puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,

“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

“Qadha (puasa) Ramadan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan.” (HR. Daruquthni dari Ibnu’ Umar)

Qadha puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari.

Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud. No: 2454; Tirmidzi. No: 730; An-Nasai. No: 2333; dan Ibnu Majah. No: 1700).

Membayar Fidyah sebagai Cara Membayar Hutang Puasa

Akan tetapi, jika seseorang merasa berat untuk membayar hutang puasa dengan melakukan ibadah puasa lagi, seperti orang tua yang sudah lemah fisiknya, maka bisa mengganti puasa Ramadan dengan membayar fidyah.

Fidyah dilakukan dengan memberi makan orang miskin. Jumlah orang yang akan diberi fidyah haruslah sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan. Ketentuan cara membayar batal puasa Ramadan ini dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu:

“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)

Ada beberapa ketentuan membayar fidyah untuk menggantikan utang puasa Ramadan yang telah lalu. Ulasannya ada di bawah ini:

Memasak atau membuat makanan, lalu mengundang orang miskin sejumlah hari-hari puasa Ramadan yang ditinggalkan.

Memberi makanan yang belum dimasak (berupa bahan makanan) kepada orang miskin, sejumlah hari-hari puasa Ramadan yang ditinggalkan.

Pembayaran fidyah ini dapat dilakukan sekaligus. Misalnya, memberikan fidyah untuk 20 hari kepada 20 orang miskin. Cara lain juga bisa memberikan fidyah hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari.

Untuk besaran fidyah yang diberikan, menurut ulama Malikiyah dan Syafiiyah yaitu sebanyak 1 mud makanan.

Sementara itu, ulama Hanafiyah mengatakan kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 Sha kurma atau 1 Sha syair (gandum) atau Sha hinthoh (biji gandum).

Ukuran 1 Sha (kurma/gandum/beras) = 4 mud. Satu sho kira-kira 3 (tiga) kilogram. Setengah sho kira-kira 1,5 kilogram untuk satu hari puasa.

Jika merujuk pada pendapat ulama kontemporer :

Fidyah apabila dikonversi ke makanan siap santap adalah makanan pokok didaerah yang berlaku ,1 porsi sekali makan untuk 1 orang dewasa dan mengenyangkan. Karena setiap daerah atau wilayah porsi makan dan makanan pokonya berbeda beda,

Dan praktek ini yang biasa berlaku saat ini.

Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?

Apakah orang yang sengaja tidak berpuasa di Bulan Ramadhan diwajibkan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan?

 Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ atau mengganti puasanya sebanyak bilangan hari yang ditinggalkan.

Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin  Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas: “Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”

Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh. Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku  wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.

Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen),  lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.

Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”

Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”

Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat”.

Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”

Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”

Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”

Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. 

Semoga Allah memberi toufik dan hidayah kepada kita untuk terus dalam ketaatan, dan ketaqwaan kepada Allah azza wa jalla semata…. aamiin.

Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa

Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari, maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal ini adalah,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan”.

Wallohu a’lam bishowab

Disarikan dari beberapa sumber.

rifumi

#1syawal #aqiqah #aqiqahmalang #aqiqoh #aqiqohmalang #boleng #butcher #darulaqiqah #darulaqiqoh #iedulkurban #kambing #kambingbetina #kambingjantan #kambingkurban #karkas #katering #malangkurban #parenting #qurban #ramadhan #ramadhan1444 #ramadhan2023 #ramadhankareem #ramadhankarim #ramadhantiba #renunganislam #rpa #sejarahislam #sembelihhalal #sembelihqurban #syari #Tafsqiatunnafs adab aqiqah aqiqoh boleng Kambing kambing jantan kurban malang nyunnah qurban syar'i syarat aqiqah umur kambing aqiqah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: